Kisah Sumpah Pemuda: Startup yang Diremehkan
- November 7, 2015
- 0 comments
- 0
Acara itu cuma dihadiri oleh puluhan pemuda dari seluruh Hindia Belanda. Van Der Plaas, intel Belanda yang mengawasi kegiatan tersebut pun menganggap remeh pengaruh acara tersebut. Permainan biola WR Supratman saat mengumandangkan Indonesia Raya untuk pertama kali pun dilaporkan oleh intel Belanda tak lebih sebagai sebuah penampilan musik yang tak berkualitas. “Kalah jauh dari musik Eropa,” tulis sang intel.
Wajar saja. Apa sih hal besar yang bisa diharapkan dari anak-anak muda berusia tanggung seperti Sugondo Djojopuspito, Mohammad Yamin, atau Sjahrir itu? Untuk melaksanakan kegiatan itu saja mereka harus patungan dengan uang mereka yang tak seberapa.
Saat masih AMS (SMA kalau sekarang), Sjahrir yang salah satu pentolan anak-anak muda itu pun harus meloncat pagar untuk kabur dari incaran kejaran Belanda, kalau tak mau disamakan dengan anak-anak SMA generasi sekarang yang memang bandel. Acara tersebut sama sekali tidak memenuhi syarat menjadi acara yang dikenang sepanjang zaman.
Namun, sejarah kemudian menunjukkan bahwa momentum itu, dan rangkaian peristiwa lainnya, membantu menciptakan perubahan besar di tanah Nusantara dan bahkan dunia (kemerdekaan bangsa-bangsa Asia Afrika). Semangat persatuan yang ditanam kemudian tumbuh dan berbuah menjadi kemerdekaan. Indonesia Raya pun berkumandang pada proklamasi kemerdekaan dengan gagah, tak lagi dikomentari intel Belanda sebagai musik murah.
Pemuda, Founder, Virus Penular Semangat
Bagi saya, pemuda-pemuda pendiri bangsa di atas adalah model bagi setiap pendiri startup (istilah yang saya pakai untuk siapapun yang memulai inisiatif tertentu, tidak hanya perusahaan). Bung Karno, Bung Hatta, Soewardi Suryaningrat, Syahrir, dan kawan-kawannya adalah para founder dari beragam startup.
Di awal abad 20, masalah besar yang dihadapi oleh bangsa ini adalah tantangan politik bernama penjajahan. Maka, ‘startup’ yang mereka bangun pun berupa gerakan-gerakan politik. Seperti para founder startup,mereka juga berangkat dari masalah-masalah yang ada di sekeliling mereka.
Berbagai diskriminasi yang dialami oleh Bung Karno dan kawan-kawannya sesama warga jajahan sejak masa kecil hingga masa kuliah di Technische Hoogeschool (ITB sekarang) di Bandung mendorongnya untuk mendirikan Algemeene Studieclub pada tahun 1926, saat itu Bung Karno masih usia 20-an. Setahun setelahnya, ia kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia pada tahun 1927. Inilah ‘startup’ yang kemudian akan menjadi partai besar yang mewarnai sejarah Indonesia.
Soewardi Suryaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara) juga berangkat dari masalah berupa minimnya pendidikan di kalangan bangsa terjajah. Pada usia 30 tahun lebih sedikit, ia mendirikan ‘startup’ bernama Taman Siswa setelah mempelajari berbagai metode pendidikan dunia seperti Montessori dan gerakan pendidikan keluarga Tagore di India. Ini juga seperti yang dilakukan oleh para pendiri startup: mencari masalah, lihat cara orang di tempat lain menyelesaikannya, lalu buat versi yang lebih sesuai dengan tempat kita sendiri, dan terus dikembangkan.
Aksi-aksi yang dimulai dari kecil dan nekat para pemuda pendiri bangsa inilah yang terus memicu berbagai gejolak positif dan inspirasi generasi-generasi penerusnya. Setiap mereka-mereka ini mendirikan suatu ‘startup’, terjadi gelombang baru lanjutan ‘startup’ lainnya. Mereka menjadi teladan bagi pendiri ‘startup’ atau semua orang yang memiliki cita-cita besar dan yang percaya akan visi mereka di tengah berbagai tantangan.
Mereka juga jatuh bangun dan berdarah-darah untuk mewujudkan visinya. Awalnya diremehkan, lalu dianggap berbahaya, sampai akhirnya meraih kemenangan dan kemudian menular bak virus, sampai sekarang efeknya. Ini adalah hal yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua.
Pemuda di Era Internet
Harus saya akui, lahirnya Bukalapak adalah inspirasi dari banyak pendiri/founder perusahaan internet pada awal tahun 2000-an, ada detikcom dan juga Bhinneka. Mereka generasi awal pemuda Indonesia yang nekat dan keras kepala untuk memulai sesuatu yang saya bisa bayangkan sangat sulit sekali. Dari inspirasi merekalah kami berani bermimpi untuk memajukan UKM lewat internet, yang awalnya juga berdarah-darah, tapi ternyata perlahan-lahan bisa. Inilah era internet yang menawarkan segudang kesempatan buat generasi muda sekarang.
Era Internet memang era paling menantang karena globalisasi semakin dekat, persaingan juga semakin ketat. Tapi saya percaya, bagi anak-anak muda Indonesia, internet akan dilihat sebagai kesempatan baru. Ide-ide unik dari generasi muda Indonesia terbukti telah banyak mewarnai kita lewat internet dan terus-menerus berputar.
Hampir tidak ada gerakan atau inisiatif anak muda yang tidak berasal dari internet. Wajah-wajah baru pemuda Indonesia mewarnai kehidupan kita karena teknologi canggih ini, baik itu dengan mendirikan perusahaan, membuat konten kreatif di media sosial, membuat gerakan/petisi online, membuat makanan atau produk kreatif lainnya.
Generasi muda Indonesia hari ini harus mewarisi semangat para pemuda yang bersumpah pada tahun 1928 itu. Ini adalah generasi baru yang mencoba mewarisi semangat para pendiri bangsa untuk mengambil risiko besar dalam kehidupan mereka untuk mencapai hal-hal yang lebih besar lagi. Apalagi, ini adalah zaman di mana internet telah membantu kita menghilangkan berbagai keterbatasan.
Karena itu, kalau Anda sedang memulai sebuah usaha atau upaya kebaikan apapun lalu diremehkan orang, ingatlah Sumpah Pemuda. Ingatlah bahwa anak-anak muda itu juga diremehkan oleh penguasa Belanda. Jadikan ledekan itu sebagai pelecut motivasi kita. Ingat pulalah bahwa setiap keberhasilan Anda memulai sesuatu, ada berjuta-juta anak muda lainnya yang siap meneladani dengan memulai hal-hal baru lainnya. Inspirasi akan terus berlanjut!
Saatnya kita membuktikan bahwa kita juga bisa! Selamat Hari Sumpah Pemuda!
ditulis di http://inet.detik.com/read/2015/10/28/150657/3055655/398/kisah-sumpah-pemuda-startup-yang-diremehkan
Achmad Zaky
Founder & CEO of Bukalapak.com